PENDAHULUAN
Warna keberagamaan yang khas di masyarakat Indonesia tengah menghadapi gugatan dengan kehadiran fenomena radikalisme yang beberapa tahun ini sering muncul. Pemahaman keagamaan yang dianut mayoritas umat dinilai bukan merupakan pemahaman yang benar karena berbeda dengan Islam yang ideal yaitu islam yang dicontohkan oleh salaf al-shalih keunikan ekspresi keberislaman masyarakat Indonesia dicerca sebagai ”kejahiliyahan modern” yang jauh dari Islam yang benar, otentik dan asli. Otentisitas (al shalah) Islam hilang ketika ia telah dicampuri oleh unsur luar. Islam Indonesia kehilangan nilai keasliannya semenjak ia mengakomodasi dan beralkulturasi dengan budaya dan sistem sosial politik lokal. Masuknya budaya lokal dalam ajaran islam sering dipandang bid’ah atau khurafat. Oleh karena itu islam indonesia harus kembali kepada nilai-nilai puritanisasi dan pemurnian. Selain itu juga adanya anggapan bahwa konsepan atau gagasan barat modern telah mengotori islam. Salah satu contohnya adalah sistem polotik demokrasi yang ”skuler”. Sistem tersebut menurut mereka perlu diruntuhkan untuk diganti dengan sistem Islami (nidzam al-islami) yaitu sebuah sistem hidup yang lengkap (kaffah), sempurna (kamil) dan meliputi segala sesuatu (syamil).
Pergulatan ide dan gagasan mewujudkan sebuah gerakan massa seperti ormas Islam (jaringan Ikhwanul Muslimin, Hijbut Tahrir Indonesia, Majlis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Laskar Jihad). Keberagamaan yang mereka bawa sering disebut otentik, islami dan kaffah yang mesti diberlakukan diseluruh dunia karena keislaman semacam itu bersifat universal shalih fi kulli zaman wa makan, cocok untuk semua tempat dan zaman.
Dibalik klaim otentisitas dan universalitas ada yang perlu dipertanyakan apakah yang disebut otentik itu mesti ke-arab-araban? Apakah islam yang benar itu mesti galak terhadap yang dianggap bukan berasal dari islam yaitu tradisi lokal dan modernitas? Bisakah budaya bangsa yang ramah, toleran, dan damai bisa berjalan harmonis dengan islam yang benar?
Proyek otentifikasi dan universalisme islam mengandaikan pandangan dunia (word view) islam sebagai kerangka normatif ajaran yang transenden , baku, tak berubah dan kekal. Karena itu seluruh bangunan tekstualnya mesti merujuk pada sendi-sendi yang termaktub dalam kitab suci al-quran dan al-hadits yang dipandang merupakan ajaran nabi muhammad saw dimakkah dan madinah. Sehingga islam dipandang sebagai ajaran agama yang paripurna dan tidak boleh mengalami modifikasi, konstektualisasi dan perubahan ataupun proses historisasi ajaran.
Otentifikasi menurut mereka juga meniscayakan ketundukan kepada teks-teks al-quran dan al-hadits dan pengalaman masa lalu al-shalih dalam bentuk yang tekstual dilapangan sosial polotik. Sebab quran dan sunnah karena ke-transendenannya dianggap tidak bersentuhan dengan budaya manusia. Sehingga sosial politik nabi dan para sahabatnya dianggap sebagai contoh final yang harus ditiru oleh umat islam. Jargon ”islam kaffah” diartikan sebagai realisasi islam dalam seluruh sistem hidup, ekonomi, masyarakat, negara yang lengkap dengan bentuk dan simbol-simbolnya dan islam seperti inilah yang otentik dan universal.
Pada gilirannya islam yang dipandang sebagai islam otentik adalah islam yang mengikuti tradisi nabi dan para sahabatnya sedangkan islam siluar wilayah itu bukan islam yang otentik tetapi islam yang jauh dari karakter aslinya. Itulah sebabnya sikap keberagamaan islam diindonesia yang telah mengalami akomodasi kultural dianggap sebagai bukan islam otentik karena sudan berubah dari ajaran aslinya.
Fase awal ideologi purutan telah merusak existensi budaya-budaya masyarakat lokal sinkretisme dan bid’ah telah merusak warna keaslian bangsa yang sudah diwariskan nenek moyang sebagai identitas lokal, sehingga membawa perubahan terhadap pola pikir keberagamaan dari islam lokal menjadi islam universalis dalam praktek ajarannya.
Fase berikutnya purifikasi berkembang kearah sistem sosial politik dan menjadi gerakan ”politik identitas” yang mengikis ekspresi sosial politik islam indonesia yang ramah, toleran dan moderat. Hal ini ditandai dengan penerapan syariat islam dengan formalisasi syariat islam.
Term ”penerapan syariat Islam” bagi kalangan mainstream umat tidak mesti berwujud pemberlakuan fikih islam sebagai hukum positif negara. Penerapan hukum fiqh bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus menjadi hukum negara. Karena dengan formalisasi makna keislaman sebagai ketundukan kepada allah dengan sepenuh hati akan kehilangan maknanya. Karena semua peribadatan baru punya arti jika muncul dari kehendak sendiri sebagai cerminan penghambaan, bukan karena ketakutan terhadap sangsi dan hukuman dari aparat negara. Makna ikomah daulah islamiyah (penegakan negara islam) atau tathbiq ala nidham al-islami (penerapan sistem islam) tidak mesti tekurung dalam bentuk-bentuk formal. Islamisasi negara dan sistemnya bisa dilakukan dengan mengubah semangat, nilai dan substansi tanpa menghabiskan energi untuk kepentingan identitas. Terwujudnya negara yang islami adalah negara yang mampuh melindungi kemaslahatan rakyatnya sehingga hak-hak mereka sebagai warga negara terpenuhi , termasuk hak untuk mengekpresikan agamanya secara leluasa.
PEMBAHASAN
Dasar Pluralisme
Pluralisme merupakan realitas sosial yang siapa pun tidak mungkin mengingkarinya, karena pluralisme juga merupakan hukum Allah (sunatullah). Pandangan pluralisme terkadang merupakan sesuatu hal yang negatif, sehingga kita masih setengah hati untuk mengatakan atau menerima pluralisme.
Ketika berbicara pluralisme, mungkin bagi umat Islam sejak kecil mendapat informasi bahwa Islam adalah agama yang terakhir dan satu- satunya agama yang benar. Itulah pandangan- pandangan yang bisa menimbulkan konflik atau kesalahan dalam memahami teks. Pertama marilah kita pahami terlebih dahulu antara pluralisme dengan pragmentasi. Pluralisme cenderung bermakna positif dari pada pragmentasi yang cenderung negatif.
Pluralisme tidak cukup hanya dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, dan terdiri dari banyak suku. Kalau hanya sebatas itu lebih menggambarkan pragmentasi, keterpecahbelahan, atau pengkotakan.
Pluralisme harus disertai dengan kesadaran teologis bahwa kehidupan, terutama kehiduapn agama ini memang plural dan itu kehendak Tuhan. Seperti dalam agama Islam
ditegaskan dalam surat al Maidah ayat وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
” Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
Kemudian Allah menegaskan bentuk pluralisme itu dalam as Syura ayat 8
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَهُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُدْخِلُ مَنْ يَشَاءُ فِي رَحْمَتِهِ وَالظَّالِمُونَ مَا لَهُمْ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
” Dan kalau Allah menghendaki niscaya allah menjadikan mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan orang- orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya.”
Allah pun menegaskan dalam firman Nya yaitu dalam surat al Hujarat ayat 13
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal ".
Banyak orang yang melakukan dialog antar agama dengan tujuan mencari titik temu yaitu persamaan, jangan mencari perbedaan. Justru yang harus kita cari adalah perbedaan, karena persamaannya sudah jelas yaitu setiap agama membawa misi sebagai pembawa kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antar manusia tetapi juga antar sesama makhluk ciptaan Tuhan. Dengan mencari perbedaan itu, kita bisa semakin arif dan mampu memahami orang lain dengan bijak.
Kita akui bahwa Islam telah berbicara pluralisme, ternyata selain kita, ada pihak lain yang juga meyakini agama yang berbeda. Persoalannya adalah sebagian masyarakat kita ada yang menganggap bahwa toleransi terhadap agama memiliki batasan- batasan yang ketat. Boleh saja ada orang yang berbeda dengan saya, tetapi ketika berbicara soal akidah tidak ada tawar menawar.
Pernyataan diatas sekilas memang benar. Namun kita harus bisa memahami apa itu akidah atau keyakinan, dan apa yang disebut mutlak? Pemahaman akidah tidak terlepas dari kontruksi manusia, konsep penghayatan manusia tentang Tuhan. Dalam hadis disebutkan ” ana ’inda adz- dzanni ’abdi bihi” artinya bahwa saya (Tuhan) itu bisa dipersepsikan macam- macam menurut persepsi manusia.” ketika manusia memperepsikan tuhan sebagai sebuah kekuatan tertentu, nama- nama tertentu, kemudian dengan agama tertentu seperti agama Islam sebagai agama satu- satunya jalan untuk memahami Tuhan. Dari kontruksi pemikiran seperti itu kemudian muncul apa yang sering disebut klaim kebenaran (truth claim). Cara seperti sayalah yang paling benar dalam memahami Tuhan, sementara yang lain salah. Ketika argumen kita (Islam) dikemukakan terhadap agama Kristen, mereka mungkin mengatakan itu adalah salah. Karena menurut mereka yang Esa itu bisa dalam berbagai macam hal. Misalnya dalam Islam ada yang namanya asmaul husna, Dia tidak hanya tiga tetapi sembilan puluh sembilan. Apakah kita akan mengatakan Tuhan itu ada sembilan puluh sembilan.
Kita pahami bahwa Tuhan itu satu, tetapi nama Tuhan itu bermacam- macam. Bahkan ada sebuah buku berjudul ” satu tuhan banyak nama” . dan perlu ditegaskan bahwa Tuhan itu satu, hanya persepsi dan penghayatan manusia tentang Tuhan yang bermacam- macam. Jadi yang disebut akidah adalah lebih banyak merupakan kontruksi nalar manusia tentang Tuhan. Semua orang meyakini bahwa Tuhan itu Esa.
Jadi pluralisme memberikan pemahaman secara teologis kepada manusia untuk bisa menerima perbedaan, dimana perbedaan itu yang menjadikan manusia bisa berbuat arif dan bijaksana terhadap orang yang berbeda dengan kita secara teologis.
Pencapaian Islam Rahmatan Lil Al-Alamin
Diawali dengan pertanyaan bagaimana kita bisa hidup damai bersama orang yang berbeda agama? Pertanyaan ini adalah bentuk penciptaan strategi untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. Menumbuhkembangkan toleransi dan pluralisme melalui pemahaman agama yang baik dan menyeluruh. Karena Islam sendiri merupakan agama yang sifatnya rahmatan lil ’alamin. Jangan sampai agama dijadikan alat politik untuk meraih jumlah umat yang banyak, atas nama melakukan dakwah.
Dalam konteks keagamaan, problem yang sering kali muncul adalah ketika kita sering menemukan fenomena dakwah demi menyebarkan paham keagamaan, namun kemudian dianggap sebagai kebenaran itu sendiri. Sementara orang lain sering kita anggap salah, orang yang perlu kita selamatkan, dan orang yang harus ditarik kejalan yang benar. Cara pandang seperti ini akhirnya tidak lagi menyelaraskan antara satu agama dengan agama lainnya. Tetapi malah mendestruksi tatanan masyarakat yang ada. Yang akhirnya yang muncul adalah pertikaian, saling caci, bunuh membunuh.
Pemahaman pluralisme dan liberalisme adalah sebuah manifestasi terhadap penghayatan nilai-nilai kemanusian. Banyak orang melupakan bahwa ketika kita membela manusia tidak dianggap sebagai bentuk pembelaan terhadap Tuhan. Dalam hadis dikatakan bahwa ” barang siapa yang mengenali dirinya, maka ia mengetahui Tuhannya”. Makna bebasnya ketika orang mampu menghayati nilai- nilai kemanusiaan dan membela manusia dan nilai- nilai kemanusiaan, maka ia sama dengan membela Tuhan. Atau kita kenal dengan hablu minannas dan hablu minallah, itu adalah konsep keseimbangan antara membela Tuhan dengan membela manusia.
Membumikan pluralisme, untuk menghindari klaim kebenaran yang disebabkan oleh egoisme sektoral keberagamaan. Dari hal itu, kita sering mendengar kata agama ardhi dan agama samawi, agama yang diciptakan manusia dan agama yang diciptakan Tuhan. Kategorisasi semacam ini juga menjebak kita, karena si pembuat kategori tersebut berangkat dari keinginan hanya agama samawi yang benar dan diluar sana salah. Agama Islam, Yahudi, dan Nasrani itu adalah agama samawi, sedangkan budha, konghucu, dan agama lainnya adalah agama ardhi, yang dianggap tidak benar. Agama apapun sesungguhnya memiliki keyakinan dan penghayatan yang terhdap sesuatu yang serba Maha. Hal ini adalah inti dari agama.
Ketika bebicara tentang pluralisme dalam tataran kitab suci, Alquran atau kitab yang lainnya diantaranya Injil pun berbicara mungkin hanya 10 persen berbicara anjuran tentang bagaimana mengasihi Tuhan, sementara 90 persennya membicarakan untuk mengasihi sesama. Contohnya dalam al Kitab ” kasihilah Tuhanmu seperti engkau mengsihi sesamamu”. Kata sesama tidak berarti orang kristen, tetapi juga di luar kristen. Dan didalam al Quran pun kita mengetahuai bahwa hablu minannas itu lebih banyak disinggung.
Islam sangat jauh sekali mengatur umatnya sehingga dalam berhubungan dengan agama lain tetap diikuti dengan semangat memperkuat tauhid. Ada tiga ukhuwah yang dapat membina hubungan antar umat beragama. Pertama, ukhuwah ’ubudiyah yaitu persaudaraan internal umat Islam. Kedua, ukhuwah basyariyah atau insaniah yaitu persaudaraan antar- sesama manusia. Ketiga, ukhuwah wathoniah yaitu ukhuwah yang berlandaskan kebangsaan. Dalam al Quran ketika kata ” aldzina amanu” akan di sandingkan dengan ” wa’amilu ash- shalihat” artinya kita sebagai orang Islam tidak arogan atau egois, selalu mementingkan ibadah pada Allah tetapi melupakan kondisi sosial sekitarnya.
Jelas bahwa penafsiran terhadap teks atau kitab suci zaman dahulu tidak terlepas dari kultur atau kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik. Kalau sekarang terjadi perbedaan keberagamaan lebih khusus lagi internal Islam. Mungkin itu sebagai substansi dari hadis nabi ” ikhtilafu ummati rahmat”.
Perlu dan seharusnya kita meyakini bahwa Tuhan kita memang benar tetapi kita tidak boleh menyalahkan orang lain bahwa mereka tidak benar atau salah. Sikap seperti ini adalah sikap inklusifisme yang perlu diterapkan dalam kehidupan, terutama dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks kebangsaan. Ada sebuah cerita di zaman Nabi, ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq yang dikutip oleh Yusuf Qordowi dalam kitabnya ” ghoirul muslimin fi al mujtama’i al islami”. Disuatu waktu sekelompok orang Najran yaitu orang- orang Nasrani menghadap Rasulullah. Pada waktu itu Rasulullah dan para sahabat selesai menunaikan salat Ashar. Mereka masuk masjid dan melaksanakan semabahyang menurut cara Nasrani. Para sahabat bangkit dan marah dan berupaya mencegah mereka supaya tidak masuk masjid. Namun Nabi mencegah para sahabat ” biarkan, biarlah orang nasrani semabahyang kerena mereka juga menyembah yang satu juga”. Ini adalah bentuk toleransi Rasulullah terhadap perbedaan, dan sikap ini perlu diejewantahkan dalam kehidupan. Piagam Madinah sebagai tolok ukur toleransi harus kita manifestasikan dalam kehidupan sehari- hari dalam konteks apapun.
Problem yang selalu dialami oleh bangsa Indonesia adalah permasalahan pemahaman terhadap teks atau kitab suci yang berimplikasi terhadap prilaku keberagamaan yang ekslusif. Hal ini dikarenakan pemahaman agamanya berdasarkan pemahaman zaman dahulu. Contohnya Islam, ketika Islam ingin berkembang, maka Islam harus bisa berdialog dengan tradisi lokal. Belakangan ini muncul semangat arabisasi. Indikiasinya berjenggot, bersorban atau pakaian takwa. Tidak mesti Islam akan berkembang dan maju dengan tradisi seperti, tetapi Islam harus masuk kedunia perwatakan masyarakat Indonesia. Dan dalam peyebarannya, harus disesuaikan dengan kultur yang ada dimasyarakat. Itulah sebabnya Islam tidak bisa berkembang sesuai dengan konsep yang tercantum dalam al Quran. Selain itu juga islam di Indonesia sekarang belum bisa menyentuh ranah- ranah kebudayaan Indonesia dan juga hilang nilai-nilai kultural yang dilakukan Wali Songo dalam menyebarkan Islam.
Dalam buku ini penulis berusaha meneropong cermin keindonesiaan dan mendialogkannya dengan berbagai isu yang hidup di tengah masyarakat. Selain itu juga penulis berusaha mensosialisasikan gagasan-gagasan dan konsep dialog kepada masyarakat secara luas. Selain itu juga penulis berusaha memberikan pemahaman terhadap masyarakat luas. Maka bagi masyarakat luas dan khususnya pelajar harus membaca buku ini sehingga mereka mampu bersikap pluralis terhadap keberagamaan di Indonesia.